Pada saat ini, zaman semakin berkembang. Perkembangan
zaman ini, tidak lain karena adanya pengaruh perkembangan pada manusia. Dari
pola pikirnya, kebiasaan, kepribadian, dan segala macam bentuk yang berpengaruh
terhadap manusia itu sendiri. Oleh karena itu, tentu kita tahu bahwa
perkembangan itu ada yang membawa dampak positif maupun negatif. Yang perlu
kita khawatirkan adalah yang membawa dampak negatif bagi diri sendiri maupun
bagi khalayak banyak. Bagaimana tidak? Perkembangan manusia juga berpengaruh
pada generasi muda. Bahkan cenderung menjadikan generasi muda itu sebagai genarasi
yang pemalas sejak kecil. Karena apa? Karena dari kecil, mereka sudah terbiasa
hidup bersama benda-benda modern nan canggih sampai mereka lupa dengan jati
diri mereka sebagai anak kecil. Tidak sedikit anak kecil yang sudah bertingkah
layaknya orang yang sudah mengerti segala macam bentuk sosial media dalam dunia
maya. Tapi sebaliknya, Apakah dia juga bersosialisasi dengan masyarakat
sekitarnya, sedangkan dia sendiri asik dengan gadgetnya? Bagaimana juga seorang
anak kecil bisa diajarkan lebih dekat dengan Tuhan yang menciptakannya,
sedangkan dia saja tidak bisa dekat dengan manusia?
Itulah yang saya ingin kaji lebih dalam selama liburan
ini. Saya sudah sering melihat buruknya didikan orang tua terhadap anaknya pada
usia dini.mereka sengaja membelikan anak-anak mereka barang-barang elektronik
seperti gadget dan sebagainya, sebagai teman bermain saat ditinggal oleh orang
tuanya. Padahal, masa kecil anak akan mempengaruhi masa depan anak tersebut.
Sebagai muslim, anak sedari kecil sudah diajarkan untuk mendekatkan diri dengan
Allah, mengenal Sang Pencipta-Nya, atau paling tidak diajarkan akhlak yang baik
sebagai seorang muslim agar kelak menjadi anak yang saleh.
Sebenarnya, ini bukanlah pertama kalinya saya
berkecimpung di tempat ini. Tepat pada Ramadhan tahun lalu, saya juga berada di
tempat ini. Awalnya hanya mengisi waktu kosong yang akan sia-sia jika saya
hanya berdiam diri di rumah. Tahun ini memang sedikit berbeda, karena saya tidak
bersama dengan teman saya. Dialah yang pertama kali mengajak saya untuk
mengajar di sini. Hal ini membuat saya agak canggung berada di lingkungan ini.
Bahkan pada awal saya bekerja di sini, ingin rasanya saya berhenti saja karena
tidak kuat. Maklum, saya bukan tipe orang yang mudah beradaptasi di lingkungan
yang berbeda dengan keseharian saya. Mereka sangat tertutup, sebagian besar
dari mereka mengenakan baju cadar.
Tempat bekerja saya adalah sekolah Islam yang bernama
Tarbiatul Qur’an. Tempat dimana para orang tua mempercayakan anak-anak mereka
untuk diasuh dengan orang lain sejak kecil. Memang, ini sama dengan sekolah,
yang membedakan adalah kurikulum di sini, yaitu al-Qur’an. Dari usia 2 tahun,
anak-anak dapat disekolahkan di sini. Mereka akan mendapatkan kelas sesuai usia
mereka. Kelas terendah disebut TarQ A dan dalam satu kelas biasanya berjumlah
tidak sampai 20 anak. Kegiatan mereka di sekolah, antara lain belajar mengaji,
belajar membaca, belajar menulis dan mereka juga diajarkan untuk menghafal juz
30 mulai dari an-naba hingga surah terakhir, an-nas. Tidak hanya itu, mereka
diajarkan berwudhu, sholat, zikir sesudah sholat, dan mempelajari doa
sehari-hari. Aturannya, mereka akan naik kelas jika umur mereka sudah cukup
atau hafalan surah mereka sudah mencapai batas yang telah ditetapkan pada kelas
sebelumnya. Selain sekolah, di sini juga ada tempat penitipan anak. Jadi, bagi
orang tua yang sibuk untuk bekerja dapat menitipkan anaknya di sini.
Mungkin banyak suka duka selama menjadi pengajar di sana.
Dan saya akan berbagi kesulitan saya selama mengajar dan mendidik mereka selama
2 minggu itu. Posisi saya sebagai asisten pengajar, yang membantu mengajari
anak-anak baru atau anak-anak dengan paket liburan. Pada hari pertama, saya
sudah dibuat bingung karena ada salah satu anak yang menangis saat pengajar di
kelas saya pergi. Saat ditanya, dia menangis karena dia merindukan Ibu nya yang
sedang bekerja di kantor. Saya pun mencoba untuk menenangkannya, dan
alhamdulillah berhasil. Tidak hanya pada hari itu saja, hari-hari selanjutnya
juga terjadi hal seperti itu. Bahkan, semakin lama mereka akrab dengan
pengajarnya, mereka semakin memanjakan diri dengan pengajarnya.
Ternyata, selama bulan Ramadhan mereka belajar mulai dari
pukul 09.00 Wita hingga pukul 13.00 Wita. Di pagi hari, mereka akan belajar,
mengaji, dan hafalan surah secara bergantian hingga pukul 10.30 Wita. Kelas
akan dimulai dengan membaca doa bersama, dan mereka juga melafalkan asmaul husna
bersama-sama. Sangat mahir sekali mereka melafalkan asmaul husna yang sudah
diajarkan menggunakan lagu sehingga mudah untuk diingat. Subhanallah, malu
rasanya saya yang sebesar ini kalah dengan mereka yang baru mengenal dunia.
Setelah semuanya sudah mengaji, biasanya akan dilanjutkan dengan muraja’ah
bersama, yaitu melafalkan hafalan surah mereka bersama-sama hingga pukul 11.00
Wita. Setelah itu, anak yang di jemput saat itu, akan pulang. Sedangkan yang
lainnya akan istirahat sembari menunggu datangnya waktu sholat zuhur.
Kebanyakan dari mereka tidak tidur, mereka lebih suka bermain bersama
teman-temannya. Ada yang membawa mainan dan ada juga yang membawa boneka.
Sementara saya hanya mengawasi mereka, karena tidak jarang mereka akan
bertengkar saat bermain. Bahkan juga ada yang menangis karena berebut mainan.
Setelah mendekati waktu sholat zuhur, mereka pun segera berwudhu dengan
didampingi oleh para pengajar, karena ada sebagian anak yang belum bisa
berwudhu sendiri. Tetapi, ada cara mudah lagi untuk menghafal gerakan wudhu.
Yakni, adanya lagu gerakan wudhu yang diajarkan oleh para pengajar. Sembari
menunggu azan zuhur, mereka akan berkumpul membentuk shaf sholat lalu kembali
lagi bermuraja’ah bersama-sama. Mereka juga diajarkan untuk melaksanakan sholat
sunnah sebelum dan sesudah sholat zuhur. Tepat pukul 13.00 Wita, mereka
dipulangkan. Namun, beberapa anak diperbolehkan untuk menginap disini. Mereka
akan pulang pada hari Jumat. Seperti halnya salah satu murid saya yang
menginap. Saya pernah bertanya, Apakah dia senang menginap atau tidak. Dan dia
berkata, dia sebenarnya ingin pulang. Namun, orang tuanya menyuruh dia untuk
menginap. Dia lah anak yang menangis pada hari pertama saya mengajar karena
merindukan Ibunya.
Hal ini sangat berbeda dengan tahun lalu ketika saya
mengajar di kelas anak laki-laki, dimana dengan jumlah yang lebih sedikit dan
kegiatannya pun lebih sedikit. Mereka akan dipulangkan pada pukul 11.00 Wita.
Jika ditanya mana yang lebih sulit,
mengajar perempuan atau laki-laki? Tentu lebih sulit laki-laki karena mereka
lebih berani kepada pengajarnya dan tidak jarang dari mereka malas untuk
mengaji ataupun pura-pura tidak bisa mengaji padahal mereka sangat pandai. Di
kelas laki-laki juga tidak jarang ada anak yang berkelahi bahkan terkadang, mereka
saling memukul. Saya juga dengar keluhan para pengajar lain yang mengeluh
pusing setelah mengajar kelas laki-laki.
Sama halnya ketika hari Jumat, dimana pada tahun lalu,
mereka akan belajar seperti biasa. Sedangkan tahun ini, mereka hanya muraja’ah
bersama-sama hingga pukul 10.00 Wita dan selanjutnya mereka akan sholat dhuha
ataupun sekedar istirahat sampai pukul 11.00 Wita, yang selanjutnya akan
dipulangkan. Adapun pada hari Sabtu dan Minggu, anak-anak diliburkan, begitu
juga para pengajarnya. Sedangkan pada tahun lalu, dihari Sabtu, para pengajar
akan masuk untuk bersama-sama membahas isi dari al-Qur’an dengan sub-sub tema
masing-masing.
Dan jika ditanyakan, saya merasa lebih sulit pada tahun
ini. Apalagi pada saat 2 hari terakhir, dimana saya harus mengajar mereka
sendiri. Alhasil, banyak yang mengeluh, bertengkar, dan ribut sana-sini karena
ada kecoa. Banyak juga dari mereka yang bermanja-manja dengan saya. Di sinilah
saya tahu, anak kecil akan lebih diam saat ada orang yang membuatnya nyaman,
memanjakan dia. Bahkan di hari terakhir, saya harus sibuk menghubungi semua
wali murid untuk konfirmasi acara buka puasa bersama. Hari ini adalah hari
terakhir mereka bersekolah. Dan hari ini, saya sangat merasakan bagaimana
rasanya mengasuh dan menjaga anak-anak. Banyak dari mereka yang didampingi oleh
orang tuanya, namun ada dua anak yang tidak didampingi. Jadi, inilah saatnya
saya bertugas dengan sungguh-sungguh. Mulai dari mengambilkan takjil, makanan
seusai sholat maghrib, sampai menjaganya hingga dijemput oleh orang tuanya
setelah sholat tarawih berakhir. Berat jika dibayangkan, karena tidak terbiasa
dengan anak kecil. Namun, bahagia itu ada ketika melihat mereka tersenyum
bahkan tertawa bersama teman-temannya yang lain.
Itulah kegiatan yang selama dua minggu tersebut saya
pantau dan bahkan saya alami. Ketakutan yang menghantui saya dihari-hari
pertama saya mengajar mereka, akhirnya lenyap karena melihat mereka bahagia
bersama teman-temannya. Itulah yang hilang dari mereka selama mereka ditinggal
oleh orang tua mereka yang sedang bekerja. Anak kecil seperti mereka hanya
membutuhkan kasih sayang dan perhatian lebih dari orang tuanya. Mungkin
terlihat manja, tetapi itu dilakukan demi kebaikan mereka kelak. Apakah orang
tua ingin melihat anaknya tumbuh menjadi anak yang tidak mengenal Tuhannya dan
lupa akan jasa orang tuanya? Sekolah ini tidak terlalu mengikat anak-anak untuk
belajar dengan keras. Sekolah ini mendidik anak-anak dan menjaga mereka.
Untuk orang tua yang sibuk dengan urusannya, lebih baik
anaknya dititipkan di sekolah seperti ini daripada ditinggal di rumah bersama
dengan gadgetnya. Selain bermanfaat, anak juga terjamin keselamatan dan
kebahagiannya. Saya jadi ingat saat ada
anak baru yang tidak ingin ditinggal Ibunya. Dia menangis terisak-isak sampai
dia terlelap. Namun, keesokan harinya, dia sudah mulai beradaptasi dengan
lingkungan barunya itu. Bahkan sekarang, dia terlihat sangat bersemangat untuk
sekolah karena dia senang memiliki banyak teman baru. Saya sudah banyak
bertanya kepada mereka, dan mereka mengatakan senang berada di sekolah ini
dengan teman-teman barunya. Mereka juga tidak merasa terbebani dengan hafalan
mereka. Justru mereka sangat bersemangat untuk mengejar teman-temannya yang
sudah banyak hafalan surahnya. Jadi, mari didik anak dengan baik sejak dini
agar kelak tidak menyesal.