Mungkin aku hanya bermimpi bisa
melanjutkan sekolah nanti. Tidak hanya belum memiliki tujuan, aku juga sadar
Bibiku tidak mungkin mampu membiayaiku untuk masuk ke perguruan tinggi. Aku
bukan satu-satunya anak yang harus diurus Bibiku, dia memiliki 2 orang anak
yang masih jauh perjalanan hidupnya. Sedangkan Bibiku hanya pembantu rumah
tangga,dan suaminya hanya menjadi tukang ojek untuk menafkahi keluarganya.
Mungkin aku bisa saja berusaha mendapatkan beasiswa agar bisa melanjutkan sekolahku. Tapi itu hanya sebuah
mimpi belaka.
Pagi ini, aku memang tidak sekolah dikarenakan
libur memperingati maulid Nabi Muhammad SAW. Sejak tadi, aku sudah membantu
Bibiku membersihkan rumah. Dan sekarang aku hanya memilih berdiam diri dan
menerawang ke luar jendela kamar. Tugas sekolah yang sedari tadi menunggu untuk
diselesaikan pun,hanya sesekali ku lirik. Bukan berarti aku malas mengerjakan
tugasku, aku sudah mencoba mengerjakannya sejak tadi malam. Tapi, semuanya
sia-sia, karena aku tidak bisa berpikir kritis terhadap tugasku ini. Aku hanya
selalu mengeluh jika mendapatkan tugas semacam ini.
Aku melangkah malas menuju sekolah. Saat
di dalam angkutan kota, langit tampak gelap. Aku pun sedikit merasa gelisah,
dan tentu saja aku lupa membawa payung. Saat aku turun dari angkutan kota,
hujan turun dengan derasnya serta membuat seragamku basah. Aku pun dengan
segera mencari tempat berteduh sementara karena jarak ke sekolahku masih
terlalu jauh jika dilalui bersama hujan. Tak berapa lama, hujan mulai reda dan
tanpa aku sadari, aku telah terlambat masuk kelas. Dalam kondisi basah dan
terlambat, guruku dengan segan menyuruhku keluar hingga seragamku kering.
Teman-temanku hanya menatapku, ada yang menatap tak peduli, banyak yang
menatapku jijik dan hanya sedikit yang menatapku iba. Tidak, bukan sedikit
lebih tepatnya satu, yaitu sahabatku, Lila. Akupun hanya dapat mengangguk dan
tersenyum miris menyanggupi permintaan guruku itu.
Langit sedari tadi belum memunculkan
sang surya. Itulah yang membuatku sehaian ini tidak menikmati bangku sekolah.
Guru macam apa yang tega melakukan ini?? Aku tahu,anak beasiswa sepertiku tak
pantas berada di sekolah itu. Tapi mau bagaimana lagi, hanya ini satu-satunya
cara agar aku dapat melanjutkan hidupku. Andai saja orang tuaku bersamaku saat
ini. Andai kecelakaan itu tidak terjadi. Masih baik Tuhan menjagaku disebuah
keluarga yang penuh kesederhanaan ini. Itulah yang ku fikirkan sedari tadi di
dalam kamarku sambil menerawang ke luar kamar. Sampai akhirnya suara jeritan
adik sepupuku terdengar. Saat aku beranjak keluar kamar, aku mendapati Pamanku
yang terduduk di sofa tua dengan luka gores di beberapa bagian tubuhnya. Aku
segera mengambil air dan membersihkan luka Pamanku. Ternyata, pamanku baru saja
mengalami kecelakaan dan menyebabkan motor Pamanku rusak parah. Saat ini aku
bergumam dalam hati, “ ya Allah, cobaan apalagi yang Engkau berikan??”
Waktu mungkin berlalu begitu cepat
sampai akhirnya, ujian nasional tinggal dua bulan lagi. Dan aku semakin yakin
tidak dapat melanjutkan studiku lagi. Bagaimana tidak? Sampai saat ini Pamanku
masih belum bekerja lagi. Tidak mungkin aku bergantung pada Bibiku yang hanya
bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Sepanjang perjalanan pulang inilah aku
merenung kembali. Sampai akhirnya aku melihat wanita usia sekitar 40-an lewat
di depanku. Yang kurasakan adalah getar di seluruh tubuhku dan seketika tubuhku
mengikuti wanita tersebut. Aku tidak asing dengan sosok itu, dia seperti
seseorang yang pernah menjadi bagian penting hidupku. Saat aku sudah memastikan
kebenarannya, aku segera berlari ke arahnya dan menarik tangannya. Namun saat
ia membalikkan badannya, ia malah tampak bingung dan segera melepaskan
cengkraman tanganku sambil berkata, “kau siapa? Mungkin Anda salah orang.
Maaf”. Dia pun segera pergi namun aku mencegahnya. Dan ketika ia ingin
melepaskan diri dariku, tanpa sengaja tubuhku terhempas ke tanah olehnya. Dia
segera pergi tanpa berkata apapun.
Aku berjalan terlunta-lunta menuju
rumah. Aku yakin aku benar. Apa salahnya aku mendatangi dia yang selama ini
meninggalkanku. Akhirnya aku sampai juga di rumah. Namun, saat aku melihat raut
wajah Pamanku, ada yang berbeda darinya. Seperti ada yang dia sembunyikan, bahkan
gerak geriknya pun aneh. Aku hanya menatapnya sejenak dan meninggalkannya yang
masih kikuk itu menuju kamar. Setelah lama aku mengurung diri di kamar,
akhirnya aku memutuskan membersihkan kamar Bibiku sebelum dia pulang. Saat aku
merapikan tempat tidur, aku menemukan secarik kertas di bawah bantal
bertuliskan namaku. Dengan ragu aku membukanya dan mulai membacanya. Tanpa
sadar aku meneteskan air mata. Dalam surat itu terdapat tulisan tangan yang
sangat ku kenali.
Anakku,
mafkan ibumu yang telah meninggalkanmu. Maafkan ibu yang tidak pernah
menghubungimu. Maafkan kami yang lebih memilih karier kami. Maaf, ibu baru
berani mengirimimu surat. Setelah kejadian 3 tahun lalu, ibu mengaku salah,
nak. Ibu membiarkanmu menanggung kesedihanmu sendiri agar karier ibu tidak
hancur saat diberitakan memiliki anak yang bisu. Saat itu, dengan tega ibu
menyatakan bahwa kamu sedang bersekolah di luar negeri dan karena itulah kau
tinggal bersama Bibimu. Maafkan Ibu yang pergi begitu saja saat itu. Dan
maafkan Ayahmu sebesar-besarnya, karena Ia sudah tenang di alam sana, nak.
Ayahmu meninggal karena kecelakaan seminggu lalu. Maaf Ibu baru memberitahumu
sekarang. Tolong jangan cari Ibu. Ibu malu berjumpa denganmu, Ibu terlalu hina
dan tak pantas bertemu denganmu.
Aku hanya meneteskan air mata tanpa mengeluarkan
sedikit suara pun. Dan tanpa sadar Pamanku masuk kamar dan tampak kaget saat
melihatku. Aku pun segera pergi dan seketika Pamanku hanya dapat mengucapkan
maaf. Mungkin Pamanku tahu aku sedang ingin sendiri. Memang benar, sampai dua
jam berlalu, tak ada satu pun yang menggangguku. Aku pun segera menyeka air
mataku ketika teringat akan ujian nasional yang akan berlangsung kurang dari
dua bulan lagi. Dan seketika aku sangat berambisi untuk mendapatkan beasiswa
kuliah ke luar negeri. Aku tidak kuat berdiam diri dan membebani keluarga
Bibiku. Dan mulai malam ini aku memulai usahaku untuk belajar sekuat tenaga.
Dan benar saja, usahaku tidak sia-sia.
Hasil ujian nasional ku sangat memuaskan. Setidaknya dapat membantuku untuk
mendapatkan beasiswa kuliah. Aku masih harus berjuang untuk tes itu minggu
depan. Paman dan bibiku mungkin saja bangga kepadaku dengan hasil pencapaianku
ini. Namun, masih saja aku teringat akan Ibuku. Ibu yang dengan tega
meninggalkanku. Dan mengingat hal itu, membuatku semakin ingin meninggalkan
negeri ini. Aku pun bingung mengapa aku bisa dendam seperti ini kepadanya.
Hari yang kutunggu itupun datang. Aku
segera membuka website pengumuman kelulusan penerimaan beasiswa. Dan betapa
terkejutnya aku saat mengetahui namaku tertera disana. Aku pun langsung
memberitahu Paman dan Bibiku mengenai hal ini. Mereka pun ikut senang dan
bangga oleh pencapaianku. Dan Bibiku pun menyanggupi untuk memasak banyak
makanan untuk merayakan keberhasilanku ini. Sementara, aku sibuk menyiapkan
berkas untuk diserahkan besok.
Keesokan harinya, dengan senang hati aku
berangkat menuju salah satu universitas untuk menyerahkan berkas. Dan saat aku
menyerahkannya, aku mendapati kebingungan di wajah petugas yang menerima
berkasku. Lalu ia mendatangi petugas yang lain sambil berbisik kepadanya. Dan
setelah itu, petugas itu berkata bahwa aku tidak diterima. Tentu saja aku kaget
mendengar semua itu dan tanpa sadar air mataku menetes. Dalam hati aku
bergumam, apa karena aku bisu? Dan petugas itu hanya meminta maaf kepadaku dan
menyuruhku pulang. Aku pun tidak bisa diam dengan semua ini. Aku memohon-mohon
kepada mereka namun tak ada yang mendengarkan. Sampai akhirya ada seseorang
laki-laki datang dan bertanya apa yang sedang terjadi. Lalu akhirnya ia
menyanggupi untuk bertanggung jawab atas diriku di perguruan tinggi nanti. Dia
berkata bahwa bisu bukan penghalang bagiku. Dan tidak ada ketentuan bagi
tunawicara untuk tidak diterima.
Aku tidak tahu bagaimana aku berterima
kasih pada laki-laki itu. Dan bahkan pada Tuhan Yang Maha Esa. Berkat-nya lah
aku dapat menggapai cita-citaku. Dan berkat-nya pula detik ini aku dapat
menikmati keindahan Melbourne secara langsung. Dan langkahku terhenti ketika
seseorang menepuk bahuku. Saat aku menoleh, aku terkejut bukan main. Aku segera
melangkah dengan cepat, berusaha meninggalkannya. Namun usahaku sia-sia, dia
tetap mengejarku dan tanpa sadar aku sudah terjatuh karena berusaha melepaskan
diri darinya. Dalam hati aku berkata, “mau apa Ibu kembali padaku?”. Ibuku lalu
memelukku dan berkata, “maafkan Ibu, Ibu janji mulai saat ini tidak akan
meninggalkanmu lagi”. Namun aku melepaskan pelukan itu dan berjalan mundur.
Ibuku pun bersujud kepadaku dan meminta maaf. Aku pun tak kuasa meneteskan air
mata. Tetapi Ibuku sudah beranjak pergi. Aku pun berlari ke arahnya dan segera
memeluknya. Ibuku balas memelukku dan tersenyum.